Tidak dalam Keadaan Genting, Perppu Moratorium PKPU Tak Perlu Diterbitkan

3 September 2021

Jika kekhawatiran adalah moral hazard, maka langkah yang perlu dilakukan adalah meminimalisir moral hazard yang timbul saat proses PKPU dan pailit, bukan moratorium. Jika tetap dilaksanakan, keputusan ini berpotensi menghambat perekonomian secara luas.

Usulan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada pemerintah untuk melakukan moratorium permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan pailit terus menjadi perdebatan hangat di publik. Wacana ini menimbulkan pro dan kontra, bahkan banyak pihak yang mempertanyakan urgensi pemerintah untuk menerbitkan Perppu moratorium PKPU dan pailit.

Dalam Webinar yang bertajuk “Kupas Tuntas Rencana Moratorium Kepailitan dan PKPU” yang diselenggarakan Hukumonline bersama Kantor Hukum Siregar Setiawan Manalu Partnership (SSMP), Jumat (3/9), Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Hadi Shubhan menegaskan bahwa situasi krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 dinilai belum bisa menjadi alasan bagi pemerintah untuk menerbitkan Perppu terkait moratorium PKPU dan pailit.

Meski mengamini adanya banyak kekurangan dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan (UU Kepailitan), Perppu tak diperlukan untuk saat ini. Dia menyebut bahwa revisi UU Kepailitan penting untuk dilakukan revisi, tapi tidak dalam situasi genting untuk diterbitkan Perppu.

“Revisi UU Kepailitan penting dilakukan karena beberapa substansi perlu penyempurnaan agar rezim hukum kepailitan lebih sempurna lagi. Tapi tidak genting, karena tidak ada kepentingan yang memaksa untuk segera dilakukan revisi,” kata Hadi.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) Hadi Shubhan.

Terkait moral hazard dalam proses PKPU dan pailit di masa pandemi yang menjadi kekehawatiran bagi dunia usaha, dinilai tak cukup sebagai alasan untuk menerbitkan Perppu. Menurut Hadi, faktor moral hazard sudah ada sebelum pandemi Covid-19. Sehingga langkah yang perlu dilakukan adalah meminimalisir moral hazard yang timbul saat proses PKPU dan pailit, bukan moratorium. Jika tetap dilaksanakan, keputusan ini berpotensi menghambat perekonomian secara luas.

Kendati UU Kepailitian membutuhkan perbaikan, Hadi meminta pemerintah untuk tidak melakukan revisi di saat pandemi lewat mekanisme Perppu. Revisi UU Kepailitan sebaiknya dilakukan lewat mekanisme Revisi Undang-Undang (RUU) di DPR.

“Revisi UU Kepailitan jangan lewat mekanisme Perppu. Perppu moratorium harus dikesampingkan karena etika, sesuai dengan praktik dan kebutuhan. Lakukan melalui RUU di DPR jangan melalui Perppu UU Kepailitan,” imbuhnya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Teddy Anggoro, menilai isu mengenai moral hazard terkait moratorium PKPU dan pailit tidak jelas. Pasalnya, sejak wacana ini bergulir tak ada kejelasan siapa pihak yang dikhawatirkan melakukan moral hazard dalam proses PKPU dan pailit.

Pun alasan kemudahan syarat dalam mengajukan PKPU dan pailit tak bisa dijadikan kambing hitam atas maraknya permohonan yang diajukan oleh kreditur maupun debitur. Hal ini disebabkan karena UU Kepailitan menggunakan azas integrasi yang adil, cepat, terbuka, dan efektif.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Teddy Anggoro.

“Moral hazard disebabkan syarat kepailitan mudah, saya bilang tidak tepat meskipun ada juga yang berniat tidak baik. Karena UU itu pakai azas integrasi yang adil, cepat, terbuka dan efektif. Jadi memang syaratnya harus mudah atau kembalikan ke awal syaratnya kita bikin susah. Ini bisa jadi pilihan. Kalau moral hazard, siapa pelaku yang dimaksud melakukan moral hazard, bisa pelaku usaha, bisa kuasa hukum, bisa kurator dan pengurus, bsa juga hakim. Moral hazard ini addres-nya ke mana, enggak jelas. Kalau mau moratorium, buktikan dengan jelas,” papar Teddy.

Jika kemudian pemerintah tetap ingin melakukan moratorium PKPU dan pailit, maka satu hal yang perlu dipastikan adalah bagaimana cara pemerintah melakukan moratorium tersebut, dan siapa pihak yang dikhawatirkan melakukan moral hazard.

Teddy mengakui banyak negara yang mengambil kebijakan untuk melakukan moratorium PKPU dan pailit akibat pandemi Covid-19, namun regulasi yang mereka terapkan bersifat temporary, bersyarat dan berlaku dalam waktu yang terbatas. Dan rata-rata kebijakan moratorium sudah berakhir di negara-negara yang menerapkannya.

Salah satu contoh negara yang memberlakukan pembatasan permohonan PKPU dan pailit adalah Jerman. Dalam regulasinya, Jerman memberlakukan pembatasan permohonan PKPU dan pailit untuk periode 28 maret – 28 Juni 2020. Pembatasan permohonan PKPU dan pailit ini hanya berlaku untuk debitor yang pailit sejak tanggal 1 maret 2020. Tetapi pembatasan ini sudah berakhir sejak 31 desember 2020.

Sementara itu Spanyol memberlakukan moratorium PKPU dan pailit hanya untuk kreditur. Debitur masih diperbolehkan untuk mengajukan permohonan PKPU dan pailit dan kebijakan ini berlaku hingga Desember 2021.

“Jadi macam-macam, ada yang melakukan moratorium ada yang enggak sesuai dengan kondisi perekonomian. Kemaren katanya pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh diatas 7 persen, kira-kira moratorium masih tepat atau enggak. Isunya sekarang itu kebutuhan negara, bukan moral hazard. Di Inggris seluruh permohonan PKPU karena pandemi Covid-19 ditolak, kecuali bisa membuktikan orang ini bangkrut karena Covid-19,” jelas Teddy.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebelum pemerintah memutuskan untuk menerapkan moratorium, maka harus memperhatikan konstitusi, memahami UU 37/2004 dengan baik, yang sangat mengedepankan partisipasi aktif kreditur. Berhati-hati dengan debitur tidak jujur, dan kreditur beritikad tidak baik, serta perhatikan faktor sejarah krisis ekonomi di Indonesia.

Jika pemerintah tetap ingin melakukan moratorium, maka selayaknya melakukan perbandingan dengan negara yang kondisi perekonomiannya mirip dengan Indonesia. Kemudian mentukan apakah akan memberlakukan total moratorium atau moratorium pengajuan oleh kreditur saja. Mendefinisikan dan melakukan klasifikasi terhadap debitur yang memenuhi syarat pailit (yang akan diperberat dalam perppu) sebagai akibat dari atau terdampak Covid-19.

“Sebaiknya pemerintah memiliki list company yang terdampak Covid19. Jangan sampai menyelamatkan debitur tidak jujur dan kalah kompetisi, atau terdesrupsi oleh digital ekonomi,” kata Teddy.

Lalu penerapan moratorium tidak boleh dilakukan terlalu lama. Dalam international best practices moratoriummaksimal dilakukan selama 6 bulan. Dan pemerintah harus menyiapkan strategi atas efek moratorium. Pastikan lembaga keuangan tetap akan memberikan kredit, bantuan sosial pemerintah kepada pekerja terdampak, bantuan modal dan pendukung kepada debitur.

Dan yang terpenting, untuk proses pailit dan PKPU yang telah berjalan, pemerintah harus melakukan intervensi. Serta memberikan insentif terutama gaji pekerja, tagihan negara seperti Pajak pusat dan daerah, bea cukai, PNBP, memperhatikan kondisi keuangan kreditur, termasuk bunga tanggung jawab kreditur.

Sementara itu, Managing Partner Siregar Setiawan Manalu Partership (SSMP), Nien Rafles Siregar mengatakan kepailitan dan PKPU dapat memberikan kesempatan yang adil bagi para Kreditor maupun Debitor untuk menyelesaikan persoalan utang-piutangnya secara menyeluruh, efektif dan efisien. Dalam penerapannya, banyak contoh kasus restrukturisasi melalui PKPU yang berhasil sehingga dapat dinikmati oleh debitor dan kreditor.

Managing Partner Siregar Setiawan Manalu Partership (SSMP), Nien Rafles Siregar.

Merujuk pada data SIPP Pengadilan Negeri, Nien membenarkan terjadi tren kenaikan permohonan perkara PKPU dan pailit. Namun melihat trend kenaikan tak bisa dilihat dari sisi pendaftaran. Nien menyebut tak semua permohonan berakhir dengan PKPU atau pailit, ada permohonan yang kemudian dicabut oleh pemohon.

“2019-2021 memang terjadi peningkatan permohonan, tapi ini tidak berbanding lurus dengan putusan pailit dan PKPU. Banyak yang dimohonkan kemudian dicabut. Dan ada beberapa permohonan karena tidak memenuhi syarat jadinya ditolak. Ada juga beberapa permohonan yang diajukan untuk debitor yang sama, terjadi peningkatan perkara harus dikaji lebih hati-hati,” paparnya.

Jika dilihat dari sisi permohonan yang meningkat, Nien berpendapat ini bisa menjadi bukti bahwa pelaku usaha membutuhkan instrumen penyelesaian utang melalui mekanisme PKPU dan pailit. Moratorium PKPU dan pailit justru dikhawatirkan akan mengganggu kestabilan proses penyelesaian utang di Indonesia karena terbatasnya upaya hukum lain.

Persoalan utang piutang memang bisa dilakukan lewat upaya hukum lain seperti perdata dan eksekusi jaminan. Namun dalam praktiknya kedua upaya hukum tersebut masih memiliki kekurangan dari sisi waktu. Sementara PKPU dan pailit menawarkan penyelesaian yang cepat, efektif dan serta merta.

“Upaya hukum yang tersisa adalah perdata dan eksekusi jaminan. Perdata itu panjang seekali setelah 3 tahun inkrah. Apakah kemudian sudah selesai? Belum tentu, masuk ke tahap eksekusi, dan putusan memakan waktu serta ada perlawanan juga ke MA. Makan waktu lumayan lama dan ini akan mengganggu NPL perbankan,” jelas Nien.

Dari sisi perbankan, Executive Vice President Group Hukum PT Bank Central Asia Tbk, Januar Agung Saputera menyebutkan bahwa praktek permohonan PKPU atau kepailitan di masa pandemi lebih banyak diajukan kreditor konkuren dibandingkan diajukan oleh perbankan sebagai kreditor separatis. Berdasarkan data yang dimiliki BCA, dalam periode 2016-2021 tercatat hanya 44 debitur BCA yang berada dalam PKPU dan pailit.

Executive Vice President Group Hukum PT Bank Central Asia Tbk, Januar Agung Saputera.

Di sisi lain banyaknya permohonan PKPU dan Kepailitan dari kreditur dengan jumlah tagihan yang relatif kecil berdampak pada performa debitur dalam menjalankan kegiatan usahanya yang pada akhirnya berdampak pada kemampuan bayar untuk memenuhi kewajiban pembayaran terhadap bank. Hal ini dapat terjadi dikarenakan dalam UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur syarat tagihan minimal yang dapat dijadikan dasar dalam permohonan pailit dan PKPU.

Untuk itu Januar berharap moratorium harus diikuti dengan revisi UU Kapailitan mengingat banyak hal yang harus disempurnakan. Dan jika moratorium benar diberlakukan, dikhawatirkan terjadi kemungkinan penumpukan perkara hingga moratorium berakhir.

Nanti bisa juga mengakibatkan terjadinya penumpukan proses gugatan perdata, padahal selama ini proses PKPU dimohonkan karena memang proses beracara itu lama. Tetapi kita juga harus memncoba memperbaiki apa yang selama ini jadi penyebab PKPU banyak diajukan. Salah satunya perlu dibuatkan syarat yang lebih ketat ketika akan dilakukan proses pengajukan PKPU,” pungkasnya.

Sumber

Other News