Mengapa Pemerintah Diminta Hati-hati Kaji Moratorium Kepailitan?

25 Agustus 2021

TEMPO.CO, Jakarta - Praktisi PKPU sekaligus Managing Siregar Setiawan Manalu Partnership Nien Rafles Siregar meminta pemerintah sangat berhati-hati dalam mengkaji usulan moratorium kepalitan. Moratorium itu berpotensi menambah angka kredit macet atau non-performing loan (NPL).

"Moratorium kepailitan dan PKPU berpotensi menambah angka kredit macet karena pilihan hukum untuk recovery yang terbatas dan tidak efektif," ujar Nien dalam keterangan tertulis pada Selasa, 24 Agustus 2021

Nien mewanti-wanti agar moratorium ini tidak sampai menjadi sarana berlindung bagi debitor yang beritikad buruk serta menghindari kewajibannya ke perbankan.

Menurut dia, kajian itu harus disertai pandangan para pakar, termasuk ahli hukum dan perbankan, untuk membaca data kepailitan.

Pemerintah sebelumnya menyatakan sedang mengkaji usulan para pengusaha untuk menangguhkan atau pengajuan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) perusahaan. Pemerintah melihat ada indikasi moral hazard dari tingginya kasus pailit di Indonesia.

Nien menjelaskan, bila mengacu data di lima pengadilan niaga di Indonesia, persentase bank sebagai pengaju atau pemohon PKPU atau pailit sangat kecil. Artinya, mekanisme pailit banyak diajukan oleh kreditur biasa, bukan lembaga perbankan.

Umumnya, tutur Nien, bank menempatkan upaya hukum litigasi melalui PKPU atau pailit sebagai jalan terakhir lantaran tidak adanya harapan bagi debitur untuk merestrukturisasi. Di sisi lain, tidak semua kredit macet terjadi karena pandemi Covid-19.

"Bisa jadi macet karena bisnis debitur sendiri sudah sunset dan tak efisien. Apakah kreditor tidak dapat melakukan upaya penagihan untuk debitur yang macet sebelum pandemi?" ujar Nien.

Selanjutnya, Nien menduga moratorium kepailitan dan PKPU berpotensi mengganggu kemudahan berinvestasi di Indonesia lantaran perbankan sulit memberikan kredit apabila upaya recovery tidak terjamin. Dalam survey Ease of Doing Business (Kemudahan Berusaha) dari World Bank, peringkat Indonesia dapat turun drastis. Indonesia masih menempati urutan ke-73 dari 190 negara di dunia untuk kemudahan bisnis.

Sumber

Other News