Menakar Rencana Moratorium Permohonan PKPU dan Kepailitan, Perlukah?

26 Agustus 2021

Presiden Jokowi diminta berhati-hati dalam menerbitkan kebijakan terkait moratorium PKPU dan pailit.

Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk melakukan moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan pailit hingga 2025. Kekhawatiran akan adanya moral hazard dalam proses PKPU dan palit di masa pandemi menjadi alasan utama di balik usulan Apindo tersebut. Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani dalam Rakornas Apindo secara daring, Selasa (24/8).

“PKPU dan pailit meningkat selama pandemi, kami khawatir banyak pihak tertentu yang akan mamanfaatkan celah UU Kepailitan untuk tujuan-tujuan yang kurang baik. Dan kami mohon lakukan moratorium PKPU dan palit sejalan dengan pemintaan kami ke OJK bisa di moratorium hingga 2025.” kata Hariyadi.

Keluhan tersebut rupanya diamini oleh Menteri Koordinator dan Perekonomian, Airlangga Hartanto. Dalam acara yang sama Airlangga menegaskan pemerintah tengah membahas dan mengkaji aturan terkait usulan tersebut. Airlangga mengatakan pemerintah melihat adanya moral hazard dalam upaya PKPU dan pailit di masa pandemi, dan pemerintah berupaya untuk mengatasi hal tersebut.

Isu tersebut dijawab oleh organisasi kurator dan pengurus. Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Jimmy Simanjuntak, berpandangan bahwa jika presiden ingin menerbitkan Perppu untuk melakukan moratorium terhadap permohonan PKPU dan Pailit, maka Indonesia sudah mengambil langkah mundur terkait kepastian berusaha di Indonesia. (Baca: Apindo Minta Pemerintah Lakukan Moratorium PKPU dan Kepailitan)

Rencana moratorium ini dipandang sebagai jalan pintas yang tidak menyasar pada inti permasalahan. Padahal dalam praktiknya, UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) berperan besar dalam menyelamatkan dunia usaha dari ambang pailit. Meskipun pada beberapa sisi UU Kepailitan memiliki kelemahan, namun moratorium bukanlah sebuah jalan keluar yang tepat.

Jimmy meminta Presiden Jokowi untuk melihat UU Kepailitan dari berbagai aspek. UU Kepailitan adalah UU khusus yang tidak bisa digambarkan secara satu pihak. Banyak pihak yang terlibat dalam UU Kepailitan.

“Presiden harus menilai UU Kepailitan ini dari berbagai aspek. Tidak bisa digambarkan dari satu sisi saja. Dengan adanya PKPU berapa banyak perkara yang berujung damai, berapa banyak utang yang berhasil di restrukturisasi, berapa banyak usaha yang akhirnya membaik. Jangan memberikan respons berlebihan padahal bukan di sana masalahnya,” kata Jimmy kepada Hukumonline, Rabu (25/8).

Diakui Jimmy salah satu persoalan yang saat ini tengah menjadi pembahasan di kalangan kurator dan pengurus adalah posisi kreditur yang bisa mengajukan PKPU dan pailit. Dari ratusan perkara PKPU dan palit yang masuk ke pengadilan niaga, 95 persen dimohonkan oleh kreditur.

Jika pemerintah berupaya untuk menekan moral hazard, maka aturan ini dimungkinkan diatur dalam Peppu. Hanya saja pemerintah harus melihat persoalan ini dari dua sisi, baik itu debitur maupun kreditur.

Menurut Jimmy, baik debitur maupun kreditur memiliki celah untuk berbuat curang. Banyak debitur yang juga memiliki iktikad tidak baik dalam melaksanakan kewajibannya. Sehingga aturan yang hanya memberikan kesempatan kepada debitur untuk mengajukan PKPU harus dipahami dengan baik oleh debitur. Dalam posisi ini debitur harus bisa bertanggung jawab dengan membuat proposal perdamaian yang baik dan bisa diterima oleh kreditur.

“Di sini challenging-nya, ketika hanya debitur yang bisa mengajukan PKPU, debitur harus punya iktikad baik lewat proposal perdamaian. Kalau memang Presiden mau menerbitkan Perppu dan itu memang hak Presiden, solusinya bukan moratorium. Jangan terbiasa bereaksi karena satu pihak. Pikirkan juga kreditur,” jelas Jimmy.

Hingga saat ini AKPI secara resmi belum memberikan masukan kepada pemerintah. Namun dalam beberapa diskusi yang telah dilakukan oleh kurator dan pengurus, setidaknya ada tiga hal yang mungkin bisa dimasukkan ke dalam Perppu sembari menunggu UU Kepailitan selesai direvisi.

Pertama, menghapus aturan kreditur mengajukan PKPU dan pailit. Kedua, memberikan tenggang waktu kepada debitur untuk melunasi kewajibannya dari waktu jatuh tempo. Misalkan debitur diberikan waktu tiga hingga enam bulan dari waktu jatuh tempo untuk memenuhi kewajibannya. Dan ketiga adanya ambang minimum untuk mengajukan pailit.

“Dengan Perppu yang seperti ini tingkat laju PKPU dan pailit bisa ditekan. Dari AKPI belum ada masukan secara resmi kepada pemerintah, kita baru akan bahas pagi ini. Semoga besok sudah ada hasilnya,” papar Jimmy.

Sementara, Managing Partner pada Siregar Setiawan Manalu Partnership, Nien Rafles Siregar, meminta pemerintah untuk berhati-hati dan mempelajari usulan moratorium Kepalitan dan PKPU dengan mendegarkan seluruh stakeholder termasuk ahli hukum dan perbankan, termasuk membaca data kepailitan/PKPU. Moratorium Kepailitan dan PKPU berpotensi menambah angka kredit macet karena pilihan hukum untuk recovery yang terbatas dan tidak efektif.

Jika bersandar pada data di 5 pengadilan niaga di Indonesia, persentase bank sebagai pengaju atau pemohon PKPU/pailit itu sangat kecil. Artinya, mekanisme PKPU/pailit banyak diajukan oleh kreditur biasa, bukan lembaga perbankan.

“Perlu diingat pula, dana yang disalurkan ke debitur dana pihak ketiga, milik masyarakat juga. Jangan sampai pula moratorium dijadikan sarana berlindung untuk debitor beriktikad buruk dalam rangka menghindari kewajibannya ke perbankan,” kata Nien yang juga berprofesi sebagai kurator. Sekadar catatan, Kantor Hukum Siregar Setiawan Manalu Partnership adalah juara kedua dalam Top 30 Largest Law Firms: Litigation Practice 2021.

Nien menjelaskan bahwa umumnya bank menempatkan upaya hukum litigasi melalui PKPU/pailit sebagai jalan terakhir setelah tidak ada lagi harapan bagi debitur untuk melakukan restrukturisasi bilateral. Dia menegaskan tidak pernah ada bank yang gembira melihat debitur pailit karena bisnis bank itu bukan recovery, melainkan penyaluran kredit.

Selain itu, tidak semua kredit macet terjadi karena pandemi Covid-19. Kredit macet sangat mungkin bisa terjadi karena bisnis debitur sendiri sudah sunset dan tak efisien. “Apakah kreditor tidak dapat melakukan upaya penagihan untuk debitor yang macet sebelum pandemi? Lagipula, ada tidaknya pandemi kegiatan restrukturisasi bilateral lazim dipergunakan oleh bank dan debiturnya untuk membantu kesulitan keuangan debitur. Selama pandemi juga, sebagaimana kebijakan pemerintah, bank memberikan kemudahan bagi debitur melakukan restrukturisasi tanpa jalur pengadilan,” paparnya.

Nien juga mengingatkan bahwa menegakkan kontrak di Indonesia merupakan hal yang sangat sulit, apalagi jika itu terjadi dalam situasi wanprestasi sebagaimana tercermin dalam survey OEDB. Moratorium ini berpotensi mengganggu kemudahan berinvestasi di Indonesia karna perbankan akan sulit untuk memberikan kredit apabila upaya recovery tidak terjamin. Dalam survey Ease of Doing Business (Kemudahan Berusaha) dari World Bank, peringkat Indonesia dapat turun drastis.

“Instrumen Kepailitan dan PKPU sendiri juga merupakan jalan keluar untuk debitor yang mengalami kesulitan keuangan. Bukan hanya milik para kreditor. Lahirnya UU PKPU dan Kepailitan pada saat krismon dahulu, atas inisiatif IMF, karena pada saat itu tidak ada instrumen untuk penyelesaian utang yang efisien. Debitur juga membutuhkannya agar bisa menyelesaikan utangnya secara sekalian ke seluruh kreditor. Setelah itu bisa memulai bisnis baru dengan tenang,” tegasnya.

Sementara, kurator James Purba menambahkan PKPU adalah masa negosiasi atau restrukturisasi utang secara massal melalui Pengadilan Niaga yang di fasilitasi oleh Pengurus PKPU dan Hakim Pengawas. Restrukturisasi utang di dalam proses PKPU ini melibatkan semua kreditur (kreditur separatis dan kreditur konkuren) dan jika berhasil mencapai perdamaian sesuai syarat di UU Kepailitan (Pasal 281) maka Perdamaian tersebut akan di sahkan oleh Pengadilan dan mengikat terhadap semua kreditur, walaupun ada yang tidak hadir.

Jika pihak pemerintah ingin menurunkan jumlah perkara Kepailitan dan atau PKPU, James menilai moratorium bukanlah jalan keluar. Menurutnya, pemerintah seharusnya melakukan revisi (amandemen) UU Kepailitan, khususnya tentang Persyaratan Kepailitan dan PKPU dalam Pasal 2 ayat 1 UU Kepailitan. Membuat aturan jumlah minimal claim (utang) untuk bisa masuk ke perkara di Pengadilan Niaga, dan ini juga diberlakukan dalam UU Kepailitan beberapa negara lain di dunia ini.

“Selanjutnya menghapus atau meniadakan hak kreditur mengajukan PKPU (Pasal 222 ayat 3 UU Kepailitan), sebab pada prinsipnya restrukturisasi merupakan hak dari debitur. sehingga pihak debitur yang paling mengerti dan memahami apakah mereka perlu melakukan restrukturisasi atau tidak,” tandas James.

Sumber

Other News